Oleh : M. Daud
A. Pendahuluan
Islam dibangun di atas pondasi sistem yang kokoh. Kerangka-kerangka
dasar sistem tersebut telah disusun dengan apik oleh sang pembawa
risalah Islam, nabi Muhammad saw., dalam bingkai bimbingan wahyu Ilahi.
Rangkaian sistem tersebut tertuang ke dalam dua wadah mulia, yakni
al-Quran dan hadith (selanjutnya disebut hadis) atau sunnah.
Al-Quran dan hadis memiliki keterkaitan kuat dalam proses membimbing
umat Islam, meskipun keduanya memiliki derajat yang berbeda dalam
beberapa aspek, baik dalam proses periwayatan, pengamalan ataupun
posisinya sebagai sumber hukum, di mana al-Quran diposisikan lebih awal
dan hadis pada posisi selanjutnya. Al-Quran sebagai sumber utama dan
hadis sebagai penafsir al-Quran dalam praktek atau penerapan ajaran
Islam secara faktual dan ideal.
Al-Quran dan hadis telah disepakati oleh sebagian besar ummat Islam
sebagai dua sumber hukum pokok, sedang sebagian kecil lain hanya
menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum Islam dan di sisi lain menolak
hadis sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam, yang kemudian lazim
dikenal dengan ingkar sunnah (Inkar al-Sunnah).
Berpegang pada sistem al-Quran dan hadis nabi adalah sebuah keharusan yang diwariskan kepada umat Islam :
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ماتمسّكتم بهماكتاب اللّه وسنّة نبيّه
“Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan
sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, Kitabullah dan
sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik)
Dalam proses pengamalan al-Quran dan hadis, ditemukan banyak masaalah,
terlebih pada kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam. Masalah yang
menjadi polemik pada hadis adalah periwayatannya. Hal ini dapat
dipahami, karena hadis memiliki kualitas periwayatan yang tidak
sepenuhnya sama dengan al-Quran. Selain itu masih banyak lagi hal-hal
yang dipermasalahkan dalam hadis yang berpengaruh pada kedudukannya
sebagai sumber hukum.
Dalam proses mendalami hadis seringkali sering ditemukan teks-teks hadis
yang memiliki lafal-lafal yang sama dan kadang berbeda tapi memiliki
makna yang sama. Oleh karena itu, hal yang akan diketengahkan dalam
makalah ini adalah bagaimana periwayatan hadis dengan lafal dan makna
itu bisa terjadi serta masalah-masalah yang berkaitan dengan sistem
periwayatan tersebut juga bagaimana contoh-contoh hadis yang
diriwayatkan dengan lafal dan hadis yang diriwayatkan dengan makna.
B. Pengertian
Memahami kalimat “Periwayatan Hadis dengan Lafal dan Makna”, paling
tidak ada empat kata yang harus didefenisikan terlebih dahulu, yaitu:
periwayatan, hadis, lafal dan makna. Selain itu, kalimat tersebut juga
selanjutnya didefenisikan ke dalam dua variabel untuk sampai pada sebuah
pengertian yang utuh, yaitu periwayatan hadis dengan lafal dan
periwayatan hadis dengan makna.
Pertama. Kata periwayatan dikenal dalam bahasa Arab adalah al
riwa>yat bentuk mas}dar dari kata rawa, secara bahasa berarti al-naql
(penulisan), al-dhikr (penyebutan), al-fatl (pintalan), dan al-istiq’
(pemberian minum), kata ini juga diartikan dengan kata h}amala dan
qas}s}a. Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia kata riwayat diartikan
dengan cerita turun temurun, sejarah, dan tambo, sedangkan untuk kata
kerjanya adalah meriwayatkan diartikan dengan menceritakan Dari
beberapa defenisi perkata tersebut, dapat diambil beberapa kata yang
dapat mewakili defenisi kata periwayatan yakni, penyebutan, penerimaan
dan kisah atau cerita. Dalam artian bahwa kata periwayatan dapat
didefenisikan sebagai sebuah proses menyebutkan, mengisahkan,
menceritakan atau menerima sebuah informasi tentang suatu objek.
Kedua: Hadis. Kata ini didefenisikan oleh para ulama secara beragam
dengan subjektifitas masing-masing. Selain itu, hadis juga sering
disinonimkan dengan beberapa istilah seperti khabar, athar, ataupun
sunnah. Terlepas dari keragaman perbedaan tersebut, yang diketengahkan
hanya defenisi secara umum yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW., baik perkataan, perbuatan, takrir atau sifat-sifatnya baik
sebelum atau sesudah diangkat menjadi nabi. Untuk memfokuskan
pembahasan, penulis mendefinisikan hadis khusus pada pembahasan ini,
sebagai informasi tentang perkataan perbuatan, takrir, ataupun hal ihwal
nabi secara tekstual yang telah diriwayatkan oleh para perawi yang
sampai pada kita saat sekarang ini.
Ketiga : Lafal. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ini didefenisikan
sebagai cara seseorang atau kelompok orang dalam suatu masyarakat
mengucapkan bunyi bahasa. Kata ini, dalam bahasa Arab sama dengan
lafaz}a yang bermakna nat}aqa bihi (mengucapkan atau melafalkan).
Sedangkan secara nomina berarti ucapan. Dalam hal ini yang dimaksud
adalah apa yang menjadi ucapan Nabi secara harfiah.
Keempat: Makna. Kata makna memiliki dua arti, arti dan maksud pembicara
atau penulis; pengertian yang diberikan pada sebuah bentuk kebahasaan.
Dalam artian bahwa kalimat yang dimaksud hanya memiliki arti dan maksud
yang sama tetapi berbeda secara lafal.
Pada pendefinisan selanjutnya dikerucutkan pada bentuk kalimat proses
periwayatan jika dihubungkan dengan objek, dalam hal ini adalah hadis,
dapat didefenisikan sebagai proses menceritakan atau menyampaikan hadis.
Dalam tinjauan istilah ilmu hadis, periwayatan didefenisikan sebagai
kegiatan menerima hadis, menukilkan serta menyandarkan hadis itu kepada
rangkaian para pembawanya. Dari defenisi-defenisi di atas dapat
dipahami bahwa periwayatan hadis paling tidak memiliki tiga unsur yang
saling terkait yaitu orang yang menyampaikan atau menceritakan hadis
(periwayat), hadis sebagai materi cerita dan orang yang mendengar atau
menerima hadis.
Dari defenisi empat kata di atas, disimpulkan kedalam dua bentuk yang
lebih terfokus, yaitu periwayatan hadis dengan lafal dan periwayatan
hadis dengan makna. Bentuk pertama diartikan sebagai proses penyampaian
informasi yang berasal dari Rasulullah (hadis) sesuai dengan apa yang
disampaikan tanpa merubah lafal. Sedangkan bentuk kedua adalah proses
penyampaian informasi yang berkaitan dengan Rasulullah dengan lafal
masing-masing penyampai informasi dengan tidak meninggalkan esensi makna
informasi tersebut.
C. Pro-kontra Periwayatan Hadis Dengan Lafal dan Makna
Pada awal Islam sampai pada awal abad kedua hijriyah, hadis tidak
ditulis dalam buku-buku yang berjilid. Ketika itu hadis masih merupakan
tulisan-tulisan yang terserak pada lembaran-lembaran terpisah (s}ahifah)
pada orang-orang tertentu sedang sebagian besar meletakkannya pada
lembaran-lembaran hati (hafalan) terutama pada masa sahabat. Oleh sebab
itu, proses transformasi hadis kemudian mengalami keragaman metode, baik
secara lafal maupun makna.
Kedua metode ini telah diberlakukan oleh para sahabat dan
generasi-generasi setelahnya. Pada proses pelaksanaannya menuai masalah,
terkhusus pada metode periwayatan dengan makna.
Proses periwayatan hadis dengan metode lafal tidaklah menuai masalah
yang serius dikarenakan penggunaanya disepakati oleh para sahabat
ataupun generasi setelahnya. Di sisi lain, periwayatan dengan makna yang
menuai masalah yang serius, ada yang membolehkan dan ada pula yang
tidak membolehkan.
Hadis nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal oleh sahabat
hanyalah hadis-hadis yang berupa sabda (qauliyah), walaupun hal tersebut
tidaklah mudah terkecuali pada sabda-sabda tertentu. Hal tersebut
disebabkan tidak mungkin seluruh qaul itu dapat dihafal secara harfiah
secara keseluruhannya, selain juga bahwa kemampuan hafalan dan tingkat
kecerdasan sahabat berbeda.
Sedangkan hadis dengan bentuk yang lain dimungkinkan akan diriwayatkan
dengan cara makna oleh para sahabat sebagai saksi mata. Hal demikian
dapat difahami karena sesuatu yang disaksikan oleh para sahabat tentu
akan diriwayatkan atau disampaikan dengan rumusan kalimat dari sahabat
tersebut.
Jalaluddin Rahmat mensinyalir sebab terjadinya periwayatan dengan
makna adalah adanya keengganan menulis hadis pada era sahabat tersebut.
Lebih jauh dia menulis, karena orang hanya menerima hadis secara
lisan, ketika menyampaikan hadis mereka hanya menyampaikan maknanya.
Dalam rangkaian periwayatan, redaksi hadispun dapat berubah-ubah. Makna
adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis
berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Sehingga dalam perkembangan selanjutnya, para sahabat menyebarkan
hadis Nabi Muhammad SAW yang diketahuinya kepada orang lain baik dengan
lapal sebagaimana ia mendengar/menerima hadis tersebut dari Nabi SAW
apabila hadis itu masih melekat pada telinga mereka. Atau mereka
menyampaikannya berdasarkan makna yang dikandung hadis tersebut
apabila mereka tidak hafal lagi dengan lafalnya.
Keabsahan periwayatan hadis dengan makna memunculkan kontroversi mulai
pada masa sahabat sampai pada generasi selanjutnya. Para sahabat nabi
pada umumnya membolehkan periwayatan hadis dengan makna. Di antara
mereka adalah ‘Aly bin Abiy T{alib, ‘Abdullah ibnu ‘Abbas, ‘Abdullah
ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda dan ‘Aisyah. Adapun yang cukup
ketat di antaranya adalah Umar bin khattab, Abdullah bin Umar dan zayd
bin Arqam. Pada masa selanjutnya, para ulama pun demikian. Abu Bakar ibn
al-Arabi (w. 573 H/1148) misalnya, berpendapat bahwa selain sahabat
Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna.
Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya
tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang
tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi
SAW.
Ulama yang lain yang juga dikenal sangat ketat berpegang pada
periwayatan secara lafal adalah Muh}ammad ibn Sirin (dari kalangan
tabi’in), Ali ibn al-Madiny, al-Qasim ibn Muh}ammad, Imam Malik, Raja’
ibn Haiwah dan al-Qadhi ‘Iyadh. Sedangkan ulama yang memperbolehkan
periwayatan hadis secara lafal dengan mengajukan syarat mengetahui
bahasa Arab dengan baik, dan sebagai indikasinya adalah mampu mengetahui
adanya penyimpangan bahasa secara maknawi, di antaranya yaitu Wathilah
ibn al-Asqa’, Hudzaifah,al-Hasan al-Bashry, al-Nakha’i, al-S{a‘by, dan
lain-lain.
Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan
selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan
beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan.
2. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan secara lafal atau harfiah.
3. Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan
yang sifatnya ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat,
serta bukan yang berbentuk jawami al kalim.
4. Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan
matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata قال أوكما atau
اونحوهذا atau yang semakna dengannya setelah menyatakan matan hadis
yang bersangkutan.
5. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa
sebelum dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan
(kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz.
Dari penjelasan-penjelasan di atas tentang ketentuan kebolehan
meriwayatkan hadis dengan makna, mengindikasikan betapa tidak
“longgar”nya syarat untuk melakukannya. Meskipun demikian, kebolehan
bersyarat tersebut menunjukkan adanya matn hadis yang telah diriwayatkan
secara makna bahkan banyak.
D. Contoh Hadis yang Diriwayatkan Dengan Lafal dan Makna
Untuk sampai pada pemahaman yang lebih dalam, perlu diketengahkan
beberapa contoh bentuk hadis yang riwayatkan secara lafal ataupun secara
makna.
1. Contoh Periwayatan Hadis Dengan Lafal
- Riwayat Abu Daud
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد وأبن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق
عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان
فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترق
“ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu S{aibah, menceritakan
kepada kami Abu Khalid dan Ibnu Numair dari al-Ajlah dari Abu Ish}aq
dari al-Bara’, ia berkata Rasulullah SAW. bersabda : Tidaklah dua orang
muslim bertemu lalu berjabat tangan kecuali Allah akan memberi ampunan
kepada keduanya sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Daud)
- Riwayat Ahmad
حدثنا أبن نمير حدثنا الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى
الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن
يفترقا
حدثنا أبن نمير أخبرنا الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله
صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن
يفترقا
- Riwayat Ibnu Majah
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد الأحمر و عبدالله بن نمير عن
الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما
من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا سفيان بن وكيع و أسحق بن منصور قال حدثنا عبدالله بن نمير عن الأجلح
عن أبي اسحق عن البراء بن عازيب قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما
من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
Dari lima buah hadis tersebut, bisa dilihat sahabat Rasulullah yang
menjadi perawi pertama untuk seluruh sanad hadis tersebut adalah
al-Barra’bin ‘Azib. Nama-nama perawi dalam sanad hadis tersebut adalah
orang yang sama pada tingkatan (t}abaqat) pertama sampai dengan
ketiga, yaitu :
1. Al-Barra bin ‘Azib
2. Abu Ish}aq
3. ‘Ajlah bin ‘Abdullah
Akan tetapi terdapat perbedaan perawi pada tingkatan keempat , yaitu:
1. Ibnu Numair
2. Abu Khalid
Pada tingkatan selanjutnya juga terjadi perbedaan. Imam Ahmad langsung
sebagai mukharrij, sedangkan imam Ibnu Majah, Abu Daud dan al-Timidhi
masih memiliki rangkaian rawi, yaitu :
1. Sufyan bin Waqi’
2. Ish}aq bin Mansur
3. Abu Bakar
Kelima hadis di atas dapat dikategorikan ke dalam hadis-hadis yang
diriwayatkan secara lafal, karena kelimanya tidak memiliki perbedaan
secara harfiyah.
2. Contoh Periwayatan Hadis dengan Makna
- Riwayat Imam Muslim
حدثني أبو غسّان المسمعيّ حدثنا عثمن بن عمر حدثنا أبو عامر يعني الخزّاز
عن أبي عمران عن عبدالله بن الصّامت الجوني عن أبي ذرّ قال قال لي النبي
صلى الله عليه وسلّم لا تحقرنّ من المعروف شيأولو أن تلقي أخاك بوجه طلق
“ Telah menceritakan kepadaku Abu Gassan al-Misma’i, telah menceritakan
kepada kami Uthman bin ‘umar, menceritakan kepada kami Abu ‘Amit
3. Abu ‘Imra>n
4. Abu ‘A>mir al-Khazzaz
Pada tingkatan selanjutnya kemudian ada perbedaan, yaitu Rauh yang
langsung kepada Imam Ahmad dan Usman bin ‘Umar kemudian Abu Ghassan pada
Imam Muslim.
Selain kedua hadis di atas ada juga beberapa hadis yang memiliki kemiripan makna, yaitu:
- Jalur riwayat Imam Ahmad
حدثنا اسحق بن عيسى حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن حابر بن
عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة ومن المعرف
أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن
عبدالله قال أخيك قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ
المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
- Jalur Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن
عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف
أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
وفي الباب عن أبي ذرّ قال أبو عيس هذا حديث صحيح
E. Penutup
Tulisan ini menawarkan beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Periwayatan hadis ialah proses penyampaian informasi yang berkaitan tentang Rasulullah.
2. Proses periwayatan hadis terbagi dua, yaitu lafal dan makna.
3. Periwayatan hadis dengan makna diperlukan syarat-syarat tertentu yang akan memelihara kemurnian dan keotentikan hadis.
4. Meskipun pendapat yang populer membolehkan periwayatan dengan makna,
namun menuntut persyaratan berat bagi perawinya dan periwayatan hadis
dengan lafal lebih diprioritaskan.
Daftar Pustaka
‘Abu Zahwi, Muh}ammad Muh}ammad. al-H{adith wa al-Muh}addithu>n .t.t.: t.tp., 1984.
Ah}mad bin Muh}ammad bin Hambal, Musnad Imam Ah}mad bin Hambal, Juz IV. Beirut : Da>r al-Fikr, t.th.
, Musnad Imam Ah}mad bin Hambal, Juz V. Beirut : Da>r al-Fikr, t.th.
al-Ad}a>by, S{alah}uddin ibn Ah}mad. Metodologi Kritik Matan Hadis . Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
al-‘Arabiyah, Mujamma’ al-Lugat. Mu’jam al-Was}i>t}, . t.tp: al-Maktabat al-S}uruk al-Dauliyat, 2004.
al-Mans}awi>, Muh}ammad S{addi>q, Qamu>s} Mus}t}alah}a>tu
al-H{adi>su a-Nabawiy . Mesir: Da>r al-Fad}i>lah, t.th.
al-Qat}t}a>n Manna, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-H}adi>th. t.t.: Maktabat wahbat, 1992.
al-Qus}airy, Muslim bin Hajja>j. S{ah}i>h} Muslim . Beirut: Da>r al-Fikr, 1993.
al-Siba’i, Mustafa. al-Sunnah wa Maka>natuha fi> Tas}ri’i al-Isla>m. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978.
al-Tirmidhi, Muh}ammad bin Isa. Sunan al-Tirmidhi, Juz V . Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga . Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi . Jakarta: Bulan Bintang, 2007.
,Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 23.
Ma>lik bin Anas bin Ma>lik, al-Muwat}t}a . Beirut: Da>r al-Fikr, 1989.
Muh}ammad bin Ya>zid bin Ma>jah, Sunan Ibnu Ma>jah, Juz II. Semarang : Maktabah wa Mat}ba’ah T{aha Putra, t.th.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia . Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989.
Rahmat, Jalaluddin. Dari Sunnah ke Hadis atau Sebaliknya, dalam
Konstektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. Budhy Munawar Rachman .
Jakarta: Paramadina, 1995.
Sulaiman bin As}’ath, Sunan Abu Dawud, Juz II . Beirut : Da>r al-Fikr, 1993.
Sabtu, 02 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)